Minggu, 05 Desember 2010

Indahnya Cinta Karena Allah

Indahnya Cinta Karena Allah

بسم الله الرحمن الرحيم
Penulis: Ummul Hasan
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”

Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah).
(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”
Wahai saudariku -semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillah bila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Saudariku muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…
Maroji’:
  1. Terjemah Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied
  2. Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya Syaikh Musthofa Al-’Adawi
  3. Sunan Tirmidzi
***
Artikel www.muslimah.or.id

Cerita Cinta ingin selalu mencintai dan dicintai karena-Nya

Cerita Cinta

ingin selalu mencintai dan dicintai karena-Nya

Di Atas Sajadah Cinta

Penulis:  Habiburrahman El Shirazy
KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

===============================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah



===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.





Diambil dari buku dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy.
Dapatkan bukunya dan simak 37 cerita keren lainnya.
Penerbit:
1. Penerbit Republika
2. Pesantren Basmala Indonesia
3. MD Entertainment
Cetakan VII, Juni 2006

Ketika Manusia Lupa nikmat tuhannya

Ketika Manusia Lupa nikmat tuhannya



Suatu ketika ada peristiwa kematian di kampungku. Mbah Diman telah meninggal dunia. Serangan jantung katanya, tepat jam 12 malam ketika hujan lebat dan kilat yang saling menyambar. Mungkin sekali ia kaget, dan terkejut setengah mati ketika ada bunyi guntur menggelegar teramat keras, tepat tengah malam.

Ya, guntur itupun tak hanya mematikan listrik di kampung kami, tapi juga menyebabkan serangan jantung akut bagi Mbah Diman. Tepat ketika beberapa saat kemudian listrik menyala lagi, seluruh isi rumah berteriak histeris. Ya, Mbah Diman telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, entah napas yang ke berapa trilyun dalam sejarah hidupnya yang panjang.

Sayang memang belum ditemukan alat penghitung nafas, sehingga kita tidak tahu sudah berapa juta kalikah kita bernapas. Seandainya alat itu memang ada, sungguh ia bisa menambah keimanan kita pada yang Maha Memberi Nafas. Mungkin kita akan selalu ingat dan mawas diri, senantiasa bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan bernafas dengan hidung ciptaan Allah, jantung ciptaan Allah, paru-paru ciptaan Allah dan udara yang juga pemberian Allah. Suatu hal esensial yang jarang sekali kita pikirkan dan kita syukuri.

Untung Allah tidak komersil. Coba saja jika Allah Maha Pelit. Sungguh, sholat seumur hiduppun tak akan mampu membayar biaya sewa jantung, paru-paru, hidung dan udara yang kita hirup tiap hembusan nafasnya. Bahkan jelas ibadah kita takkkan mampu menukar biaya sewa segala fasilitas yang telah diberikan Tuhan pada kita sebagai modal hidup di dunia.

Lalu mengapakah kita tidak bersyukur, wahai orang-orang yang berakal? Lantas mengapakah kita tidak berbakti padanya, dengan senantiasa menjadi hamba dan khalifahNya yang baik di muka bumi? Begitu sombongnyakah kita sehingga bersujud, menyentuhkan kepala pada tanah-pun begitu enggan?

Untung saja Allah bukan kapitalis yang selalu menghitung biaya investasi dengan kurs Rupiah atau Dollar. Pun Allah tidak sedang berjual beli surga dengan pahala dan ibadah. Adakah yang tahu berapakah harga tiket masuk surga? Berapa pastinya jumlah akumulasi pahala sebagai syarat standar masuk surga? Sungguh besok di akhirat kelak, seluruh ibadah dan amalan yang telah kita lakukan ternyata setelah ditimbang dalam “mizan” tidak mampu untuk menukar sebiji bola matapun. Lalu dengan apa kita akan menebus semua nikmat dan karunia Tuhan? Tidak perlu repot-repot, sesungguhnya Tuhan hanya meminta kita untuk bertanggungjawab sebagai makhluk yang berakal.

Sebagai makhluk dengan penciptaan yang sempurna. Tuhan hanya meminta kita untuk bertanggungjawab dengan “amanat” yang dititipkan pada kita. Bumi dengan segala isinya, tubuh kita dengan segala amal perbuatannya. Keluarga kita, anak-anak kita, orang tua kita, istri/suami kita, harta kita, kekuasaan kita, pengetahuan kita. Saudara kita yang sedang kesusahan, tetangga kita yang selalu kelaparan, anak yatim yang terlantar, pengemis dan gelandangan yang terlunta-lunta. Ya, disitulah wajah Allah berada. Disitulah “amanat” Allah meminta kita untuk menghadapkan wajah dan diri kita.

Tapi seringkali kita sok sibuk dan sok tidak mau tahu dengan Tuhan, seolah-olah Tuhan tidak mempunyai kontribusi sedikitpun dalam hidup kita. Jujur saja, berapa banyak dari kita yang ketika bangun tidur lantas mengucap syukur “Alhamdulillah, kita masih hidup!”. Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak berkuasa atas diri kita, bahwa ketika kita bernafas, ketika jantung kita berdetak, ketika nadi kita berdenyut, “saklar”nya bukan ada pada kita.

Kita tidak bisa bercanda dengan Tuhan untuk misalnya, berheti sejenak bernafas, mem”pause” jantung yang sedang berdetak, atau meng”cancel” nadi yang sedang berdenyut. Atau meng”undo” rambut yang tumbuh, kuku yang tumbuh dan darah yang sedang mengalir. Sungguh jika Tuhan berkehendak maka “matilah” kita semua dengan sangat mudahnya.

Tapi berapa banyak dari kita yang ingat mati? Bahkan seringkali kita bercanda dengan kematian seolah-olah kita tidak takut mati? Bahkan ketika Mbah Jambrong mati-pun, orang tidak ingat kalau dirinya juga akan mengalami mati. Orang lupa bahwa “kematian” bisa datang kapan saja. Bahwa Izrail bukanlah penagih hutang yang dengan mudah kita “semayani”. Dan Allah tentu tidak “goblok” dengan macam-macam tingkah manusia.

Allah tidak bisa dibodohi dengan kata-kata penghibur “Maaf Tuhan, saya sedang sibuk. Sholatnya nanti saja ya?” Tuhan juga tidak lengah ketika kita menomor 27kan Tuhan saat berjalan-jalan di Mall, melihat panggung hiburan, konser dangdut massal, hura-hura tahun baru atau bahkan ketika kita sedang menonton kotak hitam bernama Televisi. Berapa banyak dari kita yang mengucap “bismillah” ketika menyalakan televisi? Betapa seolah-olah Tuhan hanya sekedar wajib diingat sebagai basa-basi ketika kita sholat.

Seolah-olah wajah Tuhan hanya ada di Masjid dan Surau belaka. Atau tiba-tiba muncul sebagai “tempat mengadu” saat kita ditimpa musibah. Tiba-tiba kita sok akrab dengan Tuhan saat “kepepet”. Tiba-tiba kita menyembahnya dengan khusyu saat kita punya maksud dan hajat.

Tapi sungguh Tuhan tidak bodoh. Dan Tuhan tahu benar saat kita pergi melayat, bukan mati dan Tuhan yang kita ingat. Tapi kita sibuk membicarakan kenapa si Fulan bin Anu meninggal dunia? Bagaimana ceritanya? Adakah firasat menjelang kepergiannya? Dan sekeranjang sampah ucapan basa-basi turut berbela sungkawa dan bersedih hati.

Untung judi togel sudah dilarang, kalau masih pastilah orang pada ribut membicarakan tanggal kematiannya, jam berapa waktunya, kemudian diotak-atik menjadi nomor buntutan. Berapa banyakkah dari kita yang belajar tentang “tanda-tanda” kekuasaan Tuhan? Untuk kemudian memperbaiki diri dan bertawakkal kepada Allah. Wallahu ‘alamu bishshowab.

By Anang Luqman Afandi

Su’airah; Wanita Penghuni Surga

Su’airah; Wanita Penghuni Surga

Dia adalah seorang shahabiyyat bernama Su’airah al-Asadiyyah atau yang dikenal dengan Ummu Zufar radhiyallohu’anha. Walau para ahli sejarah tak menulis perjalanan kehidupannya secara rinci, karena hampir semua kitab-kitab sejarah hanya mencantumkan sebuah hadits dalam biografinya, namun dengan keterangan yang sedikit itu kita dapat memetik banyak faedah, pelajaran, serta teladan yang agung dari wanita shalihah ini.
Su’airah al-Asadiyyah berasal dari Habsyah atau yang dikenal sekarang ini dengan Ethiopia. Seorang wanita yang berkulit hitam, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan penuh ketulusan. Ia adalah perumpamaan cahaya dan bukti nyata dalam kesabaran, keyakinan dan keridhaan terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah, Rabb Pencipta Alam semesta ini. Dia adalah wanita yang datang dan berbicara langsung dengan pemimpin orang-orang yang ditimpa musibah dan imam bagi orang-orang yang sabar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Dialog mereka berdua telah dimaktub dan dinukilkan di dalam kitab sunnah yang mulia. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.”
Ia berkata, ”Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu’alaihi wasallam lalu berkata:
“Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka tanpa disadari auratku terbuka. Do’akanlah supaya aku sembuh.” Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Maka ia berkata:”Aku akan bersabar.” Kemudian ia berkata:”Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku) terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Maka Beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun mendo’akannya. (HR Al-Bukhari 5652)
Perhatikanlah … betapa tingginya keimanan wanita ini. Ia berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya. Tak lupa pula mempelajari ilmu agama-Nya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah dan bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Bahwasanya tak ada suatu musibah apapun yang diberikan kepada seorang mukmin yang sabar kecuali akan menjadi timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“ Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala tanpa batas.” (QS Az-Zumar :10)
Di dalam musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada manusia terkandung hikmah yang agung, yang dengannya Allah ingin membersihkan hambanya dari dosa. Dengan keyakinan itulah Su’airah lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, kerana apa yang ada disisi Allah lebih baik dan kekal. Dan Ketika diberikan pilihan kepadanya antara surga dan kesembuhan, maka ia lebih memilih surga yang abadi. Akan tetapi di samping itu, ia meminta kepada Rasululloh shallallahu ’alaihi wasallam untuk mendoakan agar auratnya tidak terbuka bila penyakitnya kambuh, karena ia adalah waniya yang telah terdidik dalam madrasah ‘iffah (penjagaan diri) dan kesucian, hasil didikan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, dan menjaga hak Allah yang telah memerintahkan wanita muslimah untuk menjaga kehormatan dirinya dengan menutup aurat. Allah subhanahu wa ta’alla berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (Qs An-Nur: 31)
Su’airah telah memberikan pelajaran penting bagi para wanita yang membuka auratnya, bahwa hendaknya mereka bersyukur kepada Allah ta’alla atas nikmat kesehatan yang telah dilimpahkan kepada mereka. Berpegang dengan hijab yang syar’i adalah jalan satu-satunya untuk menuju kemuliaan dan kemenangan hakiki, karena ia adalah mahkota kehormatannya. Dalam permintaannya, Su’airah hanya meminta agar penyakit yang membuatnya kehilangan kesadarannya itu tidak menjadi sebab terbukanya auratnya, padahal dalam keadaan itu pena telah diangkat darinya! Akan tetapi, ia tetap berpegang dengan hijab dan rasa malunya!
Betapa jauhnya perbandingan antara wanita yang pemalu dan penyabar ini dengan mereka yang telanjang yang tampil dilayar-layar kaca dan terpampang di koran dan majalah-majalah. Tak perlu kita mengambil contoh terlalu jauh sampai ke negara-negara barat sana. Cukuplah kita perhatikan di negara kita tercinta ini saja, banyak kita temukan wanita-wanita telanjang berlalu lalang dengan santainya di setiap lorong dan sudut kota, bahkan di kampung-kampung tanpa rasa malu sedikitpun. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah sebutkan perihal mereka ini dengan sabdanya:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“ Ada dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihat mereka: satu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor sapi dimana mereka memecut manusia dengannya, dan kaum wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang, genit dan menggoda, (rambut) kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Sungguh mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapati baunya, padahal bau surga bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian (jauhnya).” (HR Muslim 5704)
Mereka tak ubahnya seperti binatang yang kemana-mana tak berpakaian karena mereka memang tidak berakal! Keluarnya mereka telah merusak pandangan orang-orang yang berakal. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda tentang mereka:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَان
“Seorang wanita itu (seluruhnya) aurat. Apabila ia keluar (rumah) maka setan akan membuat mereka nampak indah di hadapan orang-orang yang memandanginya.” (HR Tirmidzi 1206, dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no 6690)
Dan sungguh semua itu bertolak belakang dengan fitrah manusia. Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)
“ Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs Al A’raf :179)
Demikianlah sosok Su’airah al-Asadiyyah radhiyallahu’anha, wanita yang dipuji Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam akan kesabaran dan ‘iffah (penjagaan diri)nya. Semoga pelajaran agung yang telah diwariskannya dapat menjadi acuan bagi wanita muslimah menuju keridhaan Allah subhanahu wa ta’alla, dan menjadikan kita penghuni surga sebagaimana Su’airah, Aamiin.
***
Artikel Muslimah.or.id
Dikutip dari majalah Mawaddah Edisi 7 tahun ke-3

Adab Salam dan Shalawat

Adab Salam dan Shalawat

Penulis: Ummu Sufyan bintu Muhammad
Muraja’ah: ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Salah satu bentuk ibadah yang terlalaikan, namun dianggap sebagai hal biasa di kalangan kaum muslimin sekarang ini adalah menulis salam dan shalawat dengan disingkat. Padahal telah diketahui bahwa dalam kaidah penggunaan bahasa Arab, kesempurnaan tulisan dan pembacaan lafadz akan mempengaruhi arti dan makna dari sebuah kata dan kalimat.
Lalu, bagaimana jika salam dan shalawat disingkat dalam penulisannya?
Apakah akan merubah arti dan makna kalimat tersebut?

Adab Menulis Salam
Kata salaam memuat makna keterbebasan dari setiap malapetaka dan perlindungan dari segala bentuk aib dan kekurangan. Salaam juga berarti aman dari segala kejahatan dan terlindung dari peperangan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan supaya menampakkan salam dan menyebarluaskannya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Bab Keutamaan Salam dan Perintah Untuk Menyebarluaskannya).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya, “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (Qs. An-Nisaa’: 86)
Yang dimaksud dengan penghormatan pada ayat diatas adalah ucapan salam, yaitu:
  1. Assalaamu ‘alaykum
  2. Atau assalaamu ‘alaykum warahmatullaah
  3. Atau assalamu ‘alaykum warahmatullaah wabarakaatuh
Dalam ayat diatas juga terdapat perintah untuk membalas salam dengan yang lebih baik atau serupa dengan itu. Misalkan ada yang memberi salam dengan ucapan assalaamu ‘alaykum maka balaslah dengan yang serupa, yaitu wa’alaykumussalaam. Atau yang lebih baik dari itu, yaitu, wa’alaykumussalaam warahmatullaah, dan seterusnya.
Dari ayat yang mulia di atas dapat diketahui bahwa hukum menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau sama dengan apa yang diucapkan adalah fardhu atau wajib. Sedangkan membalas salam dengan lafadz yang lebih baik dari itu hukumnya adalah sunah. Dan berdosalah orang yang tidak menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau yang lebih baik dari itu. Karena dengan sendirinya dia telah menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan untuk membalas salam orang yang memberi salam kepada kita (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Al-Masaail, Masalah Kewajiban Membalas Salam).
Dari penjelasan di atas, lafadz “aslkm” bahkan “ass” dan singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dalam kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam, sementara dalam lafadz tersebut tidak mengandung makna salam yaitu penghormatan dan do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dalam perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tidak sepantasnya, bahkan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzubillah).
Adab Menulis Shalawat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, yang artinya,“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan.
Ketahuilah saudariku, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?
Saudariku, apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dalam beribadah?
Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.
Maraji’:
  1. Al-Qur’an dan terjemahan.
  2. Al-Masaail Jilid 7, karya al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah.
  3. Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin (Terjemah) Jilid 3 dan 4, takhrij oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i.
  4. Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
  5. Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah Li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Terjemah) karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy, Edisi Indonesia Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, penerjemah Hawin Murtadho, cetakan Pustaka at-Tibyan.
***
Artikel muslimah.or.id

Hanya Kepada-Mu Aku Berlindung

Hanya Kepada-Mu Aku Berlindung

Barangsiapa yang bergantung kepada selain Allah, niscaya dia akan ditelantarkan. Sebab hanya Allah satu-satunya tempat berlindung, meminta keselamatan, dan tumpuan harapan. Allah, Rabb yang menguasai segenap langit dan bumi, tidak ada satupun makhluk yang luput dari kekuasaan dan ilmu-Nya. Segala manfaat dan madharat berada di tangan-Nya. Maka sungguh mengherankan apabila manusia yang lemah bersandar kepada sesama makhluk yang lemah pula, mengapa dia tidak menyandarkan urusannya kepada Allah ta’ala yang maha kuasa ?
Bukankah setiap hari, di setiap kali shalat, bahkan dalam setiap raka’at shalat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita… Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menggantungkan hati semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Tawakal adalah ibadah. Barangsiapa menujukan ibadah itu kepada selain Allah maka dia telah melakukan kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 256)
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi kebutuhannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia pasti akan mencukupinya…” (QS. ath-Thalaq: 3).
Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu sebab utama untuk bisa mendapatkan kemanfaatan maupun menolak kemadharatan. Tawakal adalah kewajiban dan ibadah. Barangsiapa yang menujukan ibadah ini kepada selain Allah maka dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 260)
Salah satu bentuk perbuatan bergantung kepada selain Allah adalah dengan meminta perlindungan dan keselamatan hidup kepada selain Allah, entah itu jin, penghuni kubur ataupun yang lainnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Janganlah kamu menyeru kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak menjamin manfaat maupun madharat kepadamu, apabila kamu tetap melakukannya niscaya kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106).
Mendatangkan manfaat dan menolak madharat adalah kekhususan yang dimiliki Allah. Barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah dan dia meyakini bahwasanya yang dia seru itu menguasai kemanfaatan dan kemadharatan sebagai sekutu bagi Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 104)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107).
Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa menyingkap keburukan/bahaya dan mendatangkan manfaat merupakan kekhususan Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mencari hal itu dari selain Allah sesungguhnya dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 105)
Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Kalau Allah yang menguasai hidup dan mati kita, lalu mengapa kita gantungkan hati kita kepada jin dan benda-benda mati yang tidak menguasai apa-apa?!
penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Cinta Allah dalam Tiga Dimensi, Jihad, Ijtihad dan Mujahadah

Cinta Allah dalam Tiga Dimensi, Jihad, Ijtihad dan Mujahadah
 www.pks-jaksel.or.id Cinta Allah (al-hubbu al-Ilahi) adalah tema inti dan mendasar dalam kajian aqidah dan tazkiyatun nafs (tasawuf). Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Inti agama itu adalah cinta atau benci karena Allah.” Kemudian beliau membaca firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 31:  “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Junaid al-Badhdadi menyatakan bahwa barangsiapa yang tidak menghafalkan Al Qur’an dan memperhatikan al-Hadits, maka ilmunya tidak dapat dipercaya. Sebab ilmu kita ini selalu berkaitan dengan Al Qur’an dan as-Sunnah.
Adapun bagaimana Al Qur’an mendeskripsikan tentang cinta kepada Allah, siapa dan apa saja perilaku yang dicintai atau dibenci oleh Allah serta bagaimana mengupayakan realisasi cinta tersebut?
Poin-poin di bawah ini diharapkan dapat membantu memahami hal yang dimaksud.
Pertama, cinta kepada Rasulullah saw sebagai bukti kongkrit cinta kepada Allah swt. Hal demikian dinyatakan oleh Ibnu Jarir dan al-Hasan al-Bashri serta berbagai riwayat yang dinukil oleh as-Shuyuthi dalam ad-Dur al-Mantsur ketika menyebutkan konteks turunnya ayat 31 surat Ali Imran. Ayat itu menyebutkan perihal datangnya beberapa kelompok orang kepada Rasulullah saw di mana semuanya mengklaim mencintai Allah swt, kemudian turunlah ayat tersebut.
Kedua, cinta kepada pribadi-pribadi dan amalan yang dicintai oleh Rasulullah saw seperti ahli bait beliau yaitu keluarga yang terdiri dari para istri serta putri, keponakan dan cucu seperti Fatimah, Ali, Hasan dan Husen ra, sebagaimana diriwayatkan oleh at-Thabrani. Cinta kepada para sahabat ra khususnya Abu Bakar dan Umar ra diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai bukti kecintaan kepada Allah, sebab Rasulullah mencintai mereka.
Ketiga, cinta kepada amalan dan pribadi yang disebutkan oleh Al-Qur’an yaitu:
Ihsan, pelakunya muhsinun
Taubat, pelakunya taaibun atau tawwabun
Bereprilaku bersih dan membersihkan, pelakunya mutathahhirin dan muththahhirin
Taqwa, pelakunya muttaqun
Sabar, pelakunya shaabirun
Tawakkal, pelakunya mutawakkilun
Berlaku adil, pelakunya muqshithun
Berjuang secara rapi dan teratur untuk menegakkan agama Allah
Munculnya pertolongan Allah dan kejayaan agama-Nya
Keempat, benci dan meninggalkan berbagai amalan dan prilaku yang dibenci oleh Allah swt, seperti:
Berlaku berlebihan yang pelakunya disebut mu’tadun
Kerusakan dan tindak destruktif lainnya, pelakunya disebut mufsidun
Perilaku membangkang yang memunculkan dosa besar dan kerusakan sosial
Berlaku kufur dan pelakunya kafirun
Perilaku zalim dan aniaya
Perilaku khianat dan tidak amanah
Perilaku boros
Sombong dan arogan
Berlebihan dalam kegembiraan (euphoria)
Mengekspos berita negatif yang tidak ada maslahatnya sama sekali
Kelima, menjadikan Al Qur’an sebagai tolok ukur apa yang mesti dicintai dan dibenci karena abstrak serta nisbinya cinta dan benci itu sendiri (lihat QS 2:216). Karena kecenderungan manusia untuk tidak terlalu menyukai orang-orang yang memberi nasihat bahkan yang mengajak kepada kebaikan sekalipun (lihat QS 7:79) dan punya kecenderungan untuk mencintai hal yang serba instan, praktis dan pragmatis (lihat QS 75:20) serta bisa diwujudkan secara material (lihat QS 29:20)
Keenam, berlaku tawadhu’ dan menjauhkan diri dari sikap arogan seperti orang-orang Yahudi dengan klaim mereka sebagai anak-anak Tuhan dan kecintaannya tanpa perlu mengikuti ajaran rasul, bahkan cenderung membangkang kepada mereka (lihat QS 5:18)
Ketujuh, menjauhkan diri dari syirik cinta (syirkul mahabbah) dan mengukuhkan keimanan dengan tauhid cinta (tuhid mahabbah) (lihat QS 2:165)
Kedelapan, melakukan tauhid sosial dan ekonomi dengan tidak segan menginfakkan harta yang paling dicintai, seperti kebun, membebaskan budak atau kuda tunggangan. Hal demikian ini diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Bukhari dan Muslim berkaitan dengan Abu Thalhah yang langsung menginfakkan harta yangh paling ia cintai berupa kebun kurma sesudah turunnya ayat Allah dalam surat al-Imran ayat 92.
Itu semuanya dalam trilogy bingkai jihad, ijtihad dan mujahadah.
Jihad yaitu berusaha sungguh-sungguh secara fisik, ijtihad yaitu berusaha sungguh-sungguh secara intelektual, dan mujahadah yaitu berusaha sungguh-sungguh secara spiritual. Tiga kesatuan ajaran utama Islam yang tidak terpisah-pisahkan melainkan saling melengkapi dan menjelaskan.
Hal demikian nampak jelas dalam kelengkapan sirah (biografi) Rasulullah saw sejak beliau diangkat menjadi nabi dan rasul hingga wafat di Madinah. Teks dan konteks surat an-Nashr yang merupakan surat lengkap terakhir yang diturunkan Allah membuktikan hal itu.
Karenanya perjalanan menghayati Islam tidaklah secara harfiah mulai dari jihad kemudian ijtihad dan diparipurnai dengan mujahadah dan mengabaikan faktor jihad dan ijtihad. Sebab sesudah kemenangan secara fisik (militer) dicapai oleh Rasulullah saw dalam bentuk Fathu Makkah dan berbondong-bondongnya orang masuk Islam, kemudian Allah memerintahkan untuk bermujahadah dengan tasbih, tahmid dan istighfar.
Sejarah kehidupan Rasululah saw kemudian membuktikan bahwa aktifitas beliau tidak berhenti dengan tingkat mujahadah ini, melainkan sebelum ajalnya, Rasulullah saw berjihad dengan memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid ke medan jihad membela agama Allah dari rongrongan kelompok Nasrani Syam.
Karenanya agar ittiba’ Rasulullah saw semakin dapat direalisir dan bermakna, maka trilogy jihad, ijtihad dan mujahadah itu perlu selalu dilaksanakan dalam bingkai dan semangat cinta kepada Allah swt. Dan dengan cara inilah al-hubbu al-Ilahi menemukan maknanya yang hakiki, baik pada tingat esensial maupun eksistensial.
Ittiba’ (mencontoh Rasulullah saw) untuk mendapatkan kecintaan dan keridhaan Allah serta kebahagiaan hidup di dunia, baik pada tingkat individual maupun komunal semakin mendapatkan pembenarannya dalam hidup modern yang serba komplek dan plural ini.
Itulah agaknya salah satu hikmah diletakkannya ayat yang menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan yang baik dalam surat al-Ahzab ayat 21.
Kajian ringkas ini kita tutup dengan doa nabi Daud as yang berbunyi: ”Ya Allah, hamba mengharapkan cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan setiap amalan yang dapat menyampaikan aku kepada cinta-Mu.”
Karena dengan cinta yang demikian itu hidup duniawi dan ukhrawi kita terasa begitu menentramkan, hubungan inter dan antara personal pun demikian membahagiakan. Dan itu salah satu dari esensi rahmatan lil alaminnya Islam.
Dicuplik dari tulisan Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A dalam buku Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani.