Minggu, 05 Desember 2010

Cinta Allah dalam Tiga Dimensi, Jihad, Ijtihad dan Mujahadah

Cinta Allah dalam Tiga Dimensi, Jihad, Ijtihad dan Mujahadah
 www.pks-jaksel.or.id Cinta Allah (al-hubbu al-Ilahi) adalah tema inti dan mendasar dalam kajian aqidah dan tazkiyatun nafs (tasawuf). Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Inti agama itu adalah cinta atau benci karena Allah.” Kemudian beliau membaca firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 31:  “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Junaid al-Badhdadi menyatakan bahwa barangsiapa yang tidak menghafalkan Al Qur’an dan memperhatikan al-Hadits, maka ilmunya tidak dapat dipercaya. Sebab ilmu kita ini selalu berkaitan dengan Al Qur’an dan as-Sunnah.
Adapun bagaimana Al Qur’an mendeskripsikan tentang cinta kepada Allah, siapa dan apa saja perilaku yang dicintai atau dibenci oleh Allah serta bagaimana mengupayakan realisasi cinta tersebut?
Poin-poin di bawah ini diharapkan dapat membantu memahami hal yang dimaksud.
Pertama, cinta kepada Rasulullah saw sebagai bukti kongkrit cinta kepada Allah swt. Hal demikian dinyatakan oleh Ibnu Jarir dan al-Hasan al-Bashri serta berbagai riwayat yang dinukil oleh as-Shuyuthi dalam ad-Dur al-Mantsur ketika menyebutkan konteks turunnya ayat 31 surat Ali Imran. Ayat itu menyebutkan perihal datangnya beberapa kelompok orang kepada Rasulullah saw di mana semuanya mengklaim mencintai Allah swt, kemudian turunlah ayat tersebut.
Kedua, cinta kepada pribadi-pribadi dan amalan yang dicintai oleh Rasulullah saw seperti ahli bait beliau yaitu keluarga yang terdiri dari para istri serta putri, keponakan dan cucu seperti Fatimah, Ali, Hasan dan Husen ra, sebagaimana diriwayatkan oleh at-Thabrani. Cinta kepada para sahabat ra khususnya Abu Bakar dan Umar ra diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai bukti kecintaan kepada Allah, sebab Rasulullah mencintai mereka.
Ketiga, cinta kepada amalan dan pribadi yang disebutkan oleh Al-Qur’an yaitu:
Ihsan, pelakunya muhsinun
Taubat, pelakunya taaibun atau tawwabun
Bereprilaku bersih dan membersihkan, pelakunya mutathahhirin dan muththahhirin
Taqwa, pelakunya muttaqun
Sabar, pelakunya shaabirun
Tawakkal, pelakunya mutawakkilun
Berlaku adil, pelakunya muqshithun
Berjuang secara rapi dan teratur untuk menegakkan agama Allah
Munculnya pertolongan Allah dan kejayaan agama-Nya
Keempat, benci dan meninggalkan berbagai amalan dan prilaku yang dibenci oleh Allah swt, seperti:
Berlaku berlebihan yang pelakunya disebut mu’tadun
Kerusakan dan tindak destruktif lainnya, pelakunya disebut mufsidun
Perilaku membangkang yang memunculkan dosa besar dan kerusakan sosial
Berlaku kufur dan pelakunya kafirun
Perilaku zalim dan aniaya
Perilaku khianat dan tidak amanah
Perilaku boros
Sombong dan arogan
Berlebihan dalam kegembiraan (euphoria)
Mengekspos berita negatif yang tidak ada maslahatnya sama sekali
Kelima, menjadikan Al Qur’an sebagai tolok ukur apa yang mesti dicintai dan dibenci karena abstrak serta nisbinya cinta dan benci itu sendiri (lihat QS 2:216). Karena kecenderungan manusia untuk tidak terlalu menyukai orang-orang yang memberi nasihat bahkan yang mengajak kepada kebaikan sekalipun (lihat QS 7:79) dan punya kecenderungan untuk mencintai hal yang serba instan, praktis dan pragmatis (lihat QS 75:20) serta bisa diwujudkan secara material (lihat QS 29:20)
Keenam, berlaku tawadhu’ dan menjauhkan diri dari sikap arogan seperti orang-orang Yahudi dengan klaim mereka sebagai anak-anak Tuhan dan kecintaannya tanpa perlu mengikuti ajaran rasul, bahkan cenderung membangkang kepada mereka (lihat QS 5:18)
Ketujuh, menjauhkan diri dari syirik cinta (syirkul mahabbah) dan mengukuhkan keimanan dengan tauhid cinta (tuhid mahabbah) (lihat QS 2:165)
Kedelapan, melakukan tauhid sosial dan ekonomi dengan tidak segan menginfakkan harta yang paling dicintai, seperti kebun, membebaskan budak atau kuda tunggangan. Hal demikian ini diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Bukhari dan Muslim berkaitan dengan Abu Thalhah yang langsung menginfakkan harta yangh paling ia cintai berupa kebun kurma sesudah turunnya ayat Allah dalam surat al-Imran ayat 92.
Itu semuanya dalam trilogy bingkai jihad, ijtihad dan mujahadah.
Jihad yaitu berusaha sungguh-sungguh secara fisik, ijtihad yaitu berusaha sungguh-sungguh secara intelektual, dan mujahadah yaitu berusaha sungguh-sungguh secara spiritual. Tiga kesatuan ajaran utama Islam yang tidak terpisah-pisahkan melainkan saling melengkapi dan menjelaskan.
Hal demikian nampak jelas dalam kelengkapan sirah (biografi) Rasulullah saw sejak beliau diangkat menjadi nabi dan rasul hingga wafat di Madinah. Teks dan konteks surat an-Nashr yang merupakan surat lengkap terakhir yang diturunkan Allah membuktikan hal itu.
Karenanya perjalanan menghayati Islam tidaklah secara harfiah mulai dari jihad kemudian ijtihad dan diparipurnai dengan mujahadah dan mengabaikan faktor jihad dan ijtihad. Sebab sesudah kemenangan secara fisik (militer) dicapai oleh Rasulullah saw dalam bentuk Fathu Makkah dan berbondong-bondongnya orang masuk Islam, kemudian Allah memerintahkan untuk bermujahadah dengan tasbih, tahmid dan istighfar.
Sejarah kehidupan Rasululah saw kemudian membuktikan bahwa aktifitas beliau tidak berhenti dengan tingkat mujahadah ini, melainkan sebelum ajalnya, Rasulullah saw berjihad dengan memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid ke medan jihad membela agama Allah dari rongrongan kelompok Nasrani Syam.
Karenanya agar ittiba’ Rasulullah saw semakin dapat direalisir dan bermakna, maka trilogy jihad, ijtihad dan mujahadah itu perlu selalu dilaksanakan dalam bingkai dan semangat cinta kepada Allah swt. Dan dengan cara inilah al-hubbu al-Ilahi menemukan maknanya yang hakiki, baik pada tingat esensial maupun eksistensial.
Ittiba’ (mencontoh Rasulullah saw) untuk mendapatkan kecintaan dan keridhaan Allah serta kebahagiaan hidup di dunia, baik pada tingkat individual maupun komunal semakin mendapatkan pembenarannya dalam hidup modern yang serba komplek dan plural ini.
Itulah agaknya salah satu hikmah diletakkannya ayat yang menjadikan Rasulullah saw sebagai panutan yang baik dalam surat al-Ahzab ayat 21.
Kajian ringkas ini kita tutup dengan doa nabi Daud as yang berbunyi: ”Ya Allah, hamba mengharapkan cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan setiap amalan yang dapat menyampaikan aku kepada cinta-Mu.”
Karena dengan cinta yang demikian itu hidup duniawi dan ukhrawi kita terasa begitu menentramkan, hubungan inter dan antara personal pun demikian membahagiakan. Dan itu salah satu dari esensi rahmatan lil alaminnya Islam.
Dicuplik dari tulisan Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A dalam buku Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar